(IslamToday ID) – Perdana Menteri (PM) Sudan, Abdalla Hamdok berjanji akan mengirim pasukan keamanan ke Darfur Barat, wilayah yang tengah dilanda konflik. Pengiriman pasukan itu merupakan respons atas serangan kelompok bersenjata yang menewaskan 60-an warga sipil pada Sabtu (25/7/2020) sore.
Para penyerang bersenjata berjumlah sekitar 500 orang, menyerang Kota Masteri, utara Beida, di Darfur. Mereka menargetkan anggota komunitas lokal Masalit. Selain melakukan penjarahan, para pria bersenjata itu juga membakar rumah dan pasar tradisional.
“Ini adalah salah satu dari serangkaian insiden keamanan terbaru yang dilaporkan selama pekan lalu yang menyebabkan beberapa desa dan rumah terbakar. Pasar dan toko dijarah, serta infrastruktur rusak,” kata pernyataan dari Badan Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) seperti dikutip di Al Jazeera, Senin (27/7/2020).
Menyusul serangan yang terjadi Sabtu lalu di Masteri tersebut, sekitar 500 warga lokal melakukan unjuk rasa meminta perlindungan lebih dari pemerintah. Hasilnya, PM Hamdok meresponsnya dengan menyatakan bakal mengirim pasukan keamanan tambahan ke Darfur.
“Pasukan keamanan gabungan akan ditempatkan di lima wilayah di kawasan Darfur untuk melindungi warga selama musim bertani,” demikian pernyataan resmi kantor PM Sudan usai Hamdok menerima delegasi dari wilayah tersebut.
Pasukan keamanan gabungan itu terdiri atas polisi dan tentara. Saksi dan seorang kepala suku di Darfur mengatakan pembantaian di wilayah itu terjadi ketika kelompok bersenjata mendatangi desa dan membunuh 20 warga sipil pada hari Jumat lalu. Dan itu berlangsung kembali keesokan harinya.
Kekerasan itu, kata mereka, adalah untuk kali pertama kelompok bersenjata melakukan aksi tersebut setelah bertahun-tahun lamanya. Wilayah barat yang miskin itu telah mengalami konflik bertahun-tahun sejak pemberontakan etnis minoritas yang mendorong pemerintah untuk meluncurkan kampanye bumi hangus yang menewaskan 300.000 orang dan membuat 2,5 juta orang terlantar.
Kekerasan di Darfur menunjukkan sedikit penurunan sejak Presiden Omar al-Bashir yang telah berkuasa selama 30 tahun di Sudan itu berhasil dimakzulkan oleh militer tahun lalu. Pemerintah dan koalisi sembilan kelompok pemberontak, termasuk faksi-faksi dari wilayah itu sepakat untuk menandatangani perjanjian perdamaian awal Januari lalu.
Para petani yang kehilangan tempat tinggal dalam konflik sejak saat itu mulai kembali ke tanah mereka di bawah kesepakatan yang disponsori pemerintah yang dicapai dua bulan lalu, saat dimulainya musim tanam Juli-November.
Namun pertumpahan darah terus berlanjut, khususnya yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanah. Pada akhir Juni dan awal Juli, ratusan pemrotes berkemah berhari-hari di luar gedung pemerintah di kota Nertiti, Darfur Tengah untuk menuntut pemerintah meningkatkan keamanan setelah beberapa insiden pembunuhan dan penjarahan di tanah pertanian dan properti.
“Meningkatnya kekerasan di berbagai bagian wilayah Darfur mengarah pada peningkatan perpindahan, membahayakan musim pertanian, menyebabkan hilangnya nyawa dan mata pencaharian, serta mendorong meningkatnya kebutuhan kemanusiaan,” ungkap OCHA dalam pernyataannya. [wip]