(IslamToday ID) – Perdana Menteri (PM) Lebanon yang baru ditunjuk, Mustapha Adib mengundurkan diri pada hari Sabtu (26/9/2020) di tengah kebuntuan politik selama hampir sebulan untuk membentuk kabinet non-partisan.
Pengunduran diri Adib itu menjadi pukulan tersendiri bagi rencana Perancis untuk mengumpulkan para pemimpin sektarian dalam mengatasi krisis terburuk di Lebanon sejak perang saudara 1975-1990.
Dalam pengumumannya, Adib yang baru ditunjuk sebagai perdana menteri pada 31 Agustus mengaku pengunduran dirinya dilakukan karena dirinya sadar bahwa kabinet bentukannya pasti akan gagal. Namun, ia menyarankan bahwa Lebanon tidak boleh menyia-nyiakan niat baik Presiden Perancis, Emmanuel Macron.
“Saya tekankan bahwa inisiatif ini harus dilakukan,” katanya usai bertemu dengan Presiden Michel Aoun seperti dilaporkan Reuters. Malahan, mantan duta besar Lebanon untuk Jerman itu berharap penggantinya bisa berhasil mengemban tugas berat untuk membentuk pemerintahan.
Sebelumnya, Adib tersandung dalam perselisihan mengenai pengangkatan sejumlah pejabat, terutama menteri keuangan yang akan memiliki peran kunci dalam menyusun rencana penyelamatan ekonomi.
Pembentukan kabinet menemui jalan buntu atas permintaan dua kelompok utama Syiah, yakni Amal dan Hizbullah, untuk posisi beberapa menteri termasuk keuangan yang sebelumnya dipegang oleh Syiah.
Adib sendiri telah mengadakan beberapa pertemuan dengan politisi Syiah, namun gagal mencapai kesepakatan. Sementara, para pemimpin Syiah takut dikesampingan karena Adib yang Sunni berusaha untuk mengguncang penunjukan kementerian.
Menanggapi hal tersebut, seorang sumber yang dekat dengan Macron mengatakan, pengunduran diri Adib sama dengan pengkhianatan kolektif oleh partai politik. Meski begitu, ia menegaskan Perancis akan tetap mendukung Lebanon.
“Sangat diperlukan pemerintah yang mampu menerima bantuan internasional. Perancis tidak akan meninggalkan Lebanon,” ujar sumber tersebut. “Ini adalah kemunduran, tapi kami tidak menyerah,” sambungnya.
Krisis yang terjadi di Lebanon merupakan hasil dari beberapa dekade korupsi sistematis yang diperparah oleh pandemi Covid-19 dan ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut pada 4 Agustus. Perdana menteri sebelumnya mengundurkan diri setelah ledakan mematikan di Beirut yang merenggut lebih dari 190 orang dan 6.000 lainnya terluka.
Mohanad Hage Ali dari Carnegie Middle East Center mengatakan, faksi-faksi yang didukung oleh Iran kemungkinan ingin menghentikan pembentukan kabinet sampai hasil pemilihan umum Amerika Serikat (AS) pada 3 November. Pasalnya, jika Presiden Donald Trump terpilih kembali, pemerintahannya akan menjatuhkan sanksi pada politisi Lebanon yang mendukung Hizbullah. [wip]