IslamToday ID — Begitulah suara rakyat Indonesia menilai harga BBM Indonesia, yang tidak kunjung menyesuaikan turunnya harga minyak dunia.
Publik sebenarnya marah, dan mungkin ingin meluapkan protes mereka dengan turun ke jalan. Persis seperti ketika pemerintahan-pemerintahan sebelumnya menaikan harga BBM. Kesadaran akan pentingnya keselamatan dari COVID-19 membuat mereka urung menyuarakan protes seperti yang sudah-sudah.
Tapi rupanya, hal ini dimaknai lain. Daya tekan rakyat dianggap lemah. Kicauan yang disampaikan secara terbuka di media sosial, oleh para pakar, mantan pejabat hingga rakyat kecil dianggap angin lalu.
Sebaliknya, pemerintah melalui pertamina justru menyampaikan pernyataan mengecewakan. Seolah olah memiliki alibi untuk terus ‘mengeruk’ keuntungan seperti sebelum COVID-19 menyerang Indonesia.
Nicke Widyawati, Direktur Utama PT Pertamina seolah mengkambing hitamkan keadaan. Kebijakan PSBB menyebabkan penurunan konsumsi di kota-kota besar seperti DKI, Bandung, Makassar di atas 50%. Sedangkan ia mengklaim secara nasional, konsumsi anjlok sampai 25%.
“Ini adalah penjualan terendah sepanjang masa, kita sekarang dalam tripple shock.” ujarnya Kamis (30/4/2020)
Lanjutnya, anjloknya permintaan menyebabkan stok BBM saat ini mencapai hampir 2 bulan, padahal biasanya hanya 16-18 hari saja.
Ia juga mengungkapkan, harga BBM saat ini ditentukan oleh formula yang dirumuskan oleh Kementerian ESDM. Pertamina, sebagai BUMN akan mengikuti ketetapan pemerintah.
Selain itu, sebagai Perusahaan BUMN, Pertamina memiliki kewajiban membeli minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas yang beroperasi dalam negeri. Sayangnya, saat ini harga minyak yang dibeli dari KKKS dalam negeri tidak semurah jika Pertamina impor.
Mafia Migas
Kondisi ini dicium Mantan staf khusus Menteri ESDM, Muhammad Said Didu sebagai permainan mafia migas. Sebab pertanggal 20 Februari, terbit keluarnya Keputusan Menteri ESDM No 62K/MEM/2020, intinya bahwa harga BBM di Indonesia didasarkan pada harga rata-rata produk kilang minyak di Singapura (MOPS – Mean Oil Platts Singapore).
Akibatnya, harga BBM di Indonesia tidak lagi terkait langsung dengan penurunan harga minyak mentah dunia, melainkan tergantung pada harga minyak hasil kilang Singapura.
“Permen tersebut agak aneh karena diterbitkan saat harga minyak mentah dunia mulai turun, peninjauan harga BBM hanya bisa dilakukan setiap 2 bulan dan menggunakan standar harga produk kilang Singapura (MOPS) – bukan harga dasar,” ujar Said Didu
Menurutnya, penggunaan standar harga MOPS sudah tidak dipakai lagi sejak pembubaran Petral tahun 2015. Maka sejak tahun 2015 harga BBM didasarkan pada harga dasar yang dihitung berdasarkan harga minyak mentah ditambah biaya pengolahan, ditambah biaya lainnya dan juga margin.
“Penggunaan standar harga MOPS ditengarai sebagai cara mafia minyak mengeruk keuntungan dari penjualan BBM ke Indonesia,” ujarnya.
Dengan kembali menggunakan standar harga singapura (MOPS), berarti akan terjadi kongkalikong pengaturan harga antara pemilik kilang di Singapura dengan mafia migas. Maka, berapapun harga yang Pertamina akan tetap membelinya
‘Sedekah Rakyat’
Mantan Menteri ESDM, Dahpan Iskan turut mengkritik tajamnya terhadap pemerintah. Kini ditengah kesulitan rakyat tanpa ribut, mau tidak mau harus ‘membiayai’ Pertamina.
Di bulan Ramadhan, saat sepuluh juta lebih rakyat kehilangan pekerjaan dan belum tercover bantuan, harus rela ‘bersedekah’ pada pertamina.
“Jadi Pertamina harus tetap mengoperasikan sumur-sumurnya. Dengan biaya dari Anda semua. Pertamina juga harus tetap menjalankan kilang-kilangnya. Dengan biaya dari Anda semua,” ujarnya.
“Kita justru harus iba kepada Pertamina. Pendapatannya yang besar itu tidak bisa lebih besar lagi. Kasihan. Itu akibat yang beli bensin tidak sebanyak sebelum Corona. Turun hampir 50 persen –seperti dikatakan direksinya” imbuh Dahlan Iskan.
Penulis: Arief Setiyanto