(IslamToday ID) – Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Dr Ni’matul Huda mempertanyakan dasar hukum pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan dilakukan serentak pada tahun 2024.
Setidaknya ada 271 daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang akan menggelar Pilkada pada tahun 2022 dan 2023, namun akan diikutkan serentak pada 2024 bersamaan dengan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg).
Selain mempertanyakan dasar hukum, Ni’matul juga mempertanyakan siapa pengganti kepala daerah selama kekosongan jabatan.
“Daruratnya dimana sehingga harus ditarik ke 2024? Daruratnya apa? Mungkinkah lewat Perppu atau cukup undang-undang?” ungkapnya dalam diskusi virtual yang digelar Bravos Radio Indonesia, Senin (17/5/2021).
Kemudian ia juga mempertanyakan dasar pemerintah menunjuk pelaksana tugas (Plt) untuk mengisi kekosongan jabatan di 271 daerah itu.
“Pertanyaan berikutnya apa dasar pemerintah menunjuk Plt di 271 daerah? Kalau di posisi gubernur kepangkatan apa yang bisa menjadi Plt? Kalau di posisi bupati/walikota kepangkatan apa yang bisa menduduki jabatan itu? Lalu siapa (yang ditunjuk)?” ungkap Ni’matul.
Presiden sebagai pemilik kuasa untuk menunjuk Plt dipastikan tidak akan mungkin menunjuk lawan-lawan politiknya untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. Hal ini lazim karena juga terkait dengan suksesi Pilpres 2024.
“Harusnya topik ini menjadi dialog nasional agar semua bisa ikut berkontribusi pada pemerintah dalam hal mengambil kebijakan. Apakah tepat kalau menyeluruh daerah seperti ini kemudian di-Plt-kan, lha darurat apa sehingga harus di-Plt-kan?” ujar Ni’matul heran.
Ia melihat banyak keterbatasan dari sosok Plt untuk menggantikan posisi kepala daerah. Ia mencontohkan di surat Mendagri No 160/2021 yang menunjuk Sekda kalau kepala daerah belum dilantik pasca Pilkada. Sekda bakal melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah sampai presiden mengangkat pejabat kepala daerah.
“Kalau begitu Plt itu setingkat kepala daerah hakikatnya, karena ia bisa bertemu dengan ditetapkan bersama DPRD, padahal Plt tidak dipilih, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Nah ini nanti yang mengkhawatirkan karena Plt bisa menandatangani Perda, APBD, organisasi perangkat daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri,” ungkap Ni’matul.
Menurutnya, Plt di benaknya pemerintah itu bisa seperti kepala daerah karena setara dengan DPRD, padahal Plt tidak dipilih langsung oleh rakyat, sementara yang digantikan itu dipilih langsung oleh rakyat.
“Nah ini konteks dari Plt, tapi saya nggak tahu nanti kira-kira bentuknya seperti apa? Kalau sekadar peraturan menteri menurut saya tidak cukup karena ini menyangkut wilayah yang sangat luas.”
“Kemudian kira-kira kalau perpanjangan (jabatan) kepala daerah bagaimana? Karena kepala daerah ini dipilih langsung oleh rakyat, legitimasinya dari rakyat, dan dia bisa sejajar dengan DPRD, sebab sama-sama dipilih langsung oleh rakyat,” tambah Ni’matul.
Ia menambahkan, mungkinkah dilakukan perpanjangan jabatan kepala daerah sehingga menghindari pengangkatan Plt yang cukup lama yakni 1-2 tahun.
Jika perpanjangan, menurutnya, kita punya pengalaman khususnya di Yogyakarta. Gubernur DIY yang sudah pernah habis masa jabatannya di 2008 kemudian diperpanjang oleh Presiden SBY selama tiga tahun pakai Keppres No 86/2008 tentang perpanjangan masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur DIY.
Setelah 3 tahun selesai, diperpanjang lagi 1 tahun oleh SBY melalui Keppres No 55/2011. Sebab kalau Plt masyarakat Yogyakarta tidak mau, karena kalau Plt berarti bukan sultan yang menjadi gubernur. Sementara Yogyakarta tidak mau kalau tidak dipimpin oleh gubernur, karena itu sudah warisan sejarahnya.
“Jadi menurut saya yang lebih dekat dengan demokrasi adalah ya diperpanjang masa jabatannya sampai 2024. Karena kalau diperpanjang masa jabatannya, dia adalah hasil dari legitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat, dibanding Plt yang ditunjuk oleh pemerintah,” ungkap Ni’matul.
Penunjukan Plt juga dinilai balik lagi ke zaman dulu yakni sentralisasi, padahal undang-undang kita sudah mendorong ke arah otonomi daerah atau desentralisasi. Kemudian DPRD juga akan bermain dengan orang yang tidak selevel jika dengan Plt, karena DPRD dipilih langsung sedangkan Plt tidak.
“Ini mengurangi demokratisasi di daerah, yaitu hak rakyat untuk memilih pemimpinnya. Jadi menurut saya yang lebih demokratis adalah perpanjangan masa jabatan,” pungkasnya. [wip]