(IslamToday ID) – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang kurang tegas dalam merespons isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Ia menilai, sikap Jokowi yang menyebut bahwa usul penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden merupakan bagian dari demokrasi bisa membuka wacana baru berupa amendemen UUD 1945.
“Sangat mungkin bahwa pernyataan yang mengayun dari Presiden Jokowi akan dibaca sebagai ruang untuk terus menggaungkan penundaan pemilu dan mendorongnya melalui jalur amendemen konstitusi untuk mendapatkan legalitas dalam pelaksanaannya,” kata Titi, Sabtu (5/3/2022).
Ia juga menyoroti pernyataan presiden yang menyebut bahwa dirinya akan patuh pada konstitusi dalam menyikapi polemik ini. Sebab, konstitusi bisa saja diubah melalui proses amendemen UUD 1945.
Oleh karenanya, Titi khawatir sikap presiden yang tidak tegas ini justru akan mendorong para elite politik untuk menyuarakan amendemen konstitusi.
“Dalam merespons situasi seperti ini, penggunaan bahasa yang mengayun hanya akan ditangkap sebagai ruang yang memberikan kebolehan dan kesempatan pada mereka untuk berusaha lebih keras mendorong penundaan pemilu, termasuk pula dengan menyiapkan instrumen hukum untuk melegalisasinya,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.
Titi pun menilai tidak tepat jika presiden menyatakan bahwa siapa pun, termasuk menteri dan elite partai, boleh mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dengan alasan demokrasi.
Sebab, katanya, menteri sebagai pejabat pemerintahan dan pembantu presiden bukan hanya harus patuh pada konstitusi, tapi perilaku dan ucapannya juga harus mencerminkan semangat konstitusionalisme dan komitmen demokrasi.
Pernyataan pejabat mestinya mengandung pesan pendidikan politik yang baik pada publik, khususnya soal kepatuhan dalam menjaga budaya berkonstitusi. “Bukan sebaliknya, mengeluarkan isu yang memicu kontroversi, spekulasi, dan jelas-jelas bertentangan dengan norma konstitusi dan semangat reformasi yang jadi komitmen bersama warga bangsa,” ucap Titi.
Ia melanjutkan, wacana yang dilemparkan para tokoh politik seharusnya mengandung substansi yang bertanggung jawab. Jika pejabat publik dianggap bebas-bebas saja melempar wacana, maka sangat mungkin timbul kegaduhan di masyarakat lantaran mereka diberi pembenaran untuk melempar isu yang tidak sejalan dengan konstitusi.
“Bahwa konstitusionalisme berdemokrasi kita berada dalam bingkai pembatasan kekuasaan pemerintah melalui pengaturan limitasi masa jabatan presiden dan wakil presiden serta penyelenggaraan pemilu yang periodik,” tandas Titi.
Menurutnya, alih-alih memberikan pemakluman pada elite politik yang mewacanakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, akan lebih bijak jika presiden menegur para tokoh tersebut. [wip]