(IslamToday ID) – Beban kerja penyelenggara pemilu yang berat, kerumitan teknis, hingga potensi polarisasi masyarakat akan diprediksi bakal kembali terjadi di Pemilu 2024. Hal ini disebabkan karena pemerintah dan DPR tidak merevisi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Tanpa revisi UU Pemilu, maka beban kerja besar, kerumitan dan kompleksitas teknis, dan potensi polarisasi akan kembali kita hadapi di Pemilu 2024,” kata anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam diskusi daring yang diselenggarakan LP3ES Jakarta, Ahad (20/3/2022).
Ia menuturkan, Pemilu 2024 sama seperti di Pemilu 2019 yang akan menggunakan lima surat suara. Pemilih akan memilih calon presiden dan wakil presiden, anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPR RI, dan DPD. Selain itu, tanpa revisi UU Pemilu, tidak ada kemajuan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan.
“Stagnasi pada kuota pencalonan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dan sistem semi zipper, setiap tiga calon legislatif memuat paling sedikit satu calon legislatif perempuan,” ucapnya seperti dikutip dari Kompas.
Kemudian, pemilu akan beririsan tahapan dengan pilkada serentak nasional yang diselenggarakan pada November 2024. Pemilu 2024 juga dinilai Titi berisiko pada substansi hasil pemilu, termasuk legitimasi hasil pemilu.
Sebab, dengan ketentuan yang ada di UU Pemilu 2017, partai-partai politik berpotensi membentuk koalisi hanya demi kepentingan praktis.
“Kita akan berhadapan kembali dengan potensi koalisi pencalonan yang pragmatis dan transaksional dan tingkat suara tidak sah yang tinggi yang berpengaruh terhadap bagaimana kedaulatan rakyat diterjemahkan menjadi kehendak rakyat,” ujar Titi.
Ia pun mengajak masyarakat sipil terus mengawal demokrasi. Menurutnya, kolaborasi dan sinergi gerakan antara organisasi masyarakat sipil pro demokrasi dan media massa bisa menjadi kekuatan penyeimbang dan kontrol dalam mengawasi kinerja pemerintah dan para elite politik.
“Karena kalau kita mengandalkan pada kontrol lembaga-lembaga formal sudah tidak memungkinkan tampaknya di tengah pemusatan kekuasaan. Karena itu sinergi masyarakat sipil dan media menjadi ruang yang kita harapkan bisa jadi ruang ekspresi kontrol,” pungkasnya. [wip]