(IslamToday ID) – KPK resmi menetapkan hakim agung Sudrajad Dimyati dan sembilan orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). Proses hukum ini menindaklanjuti kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim KPK di Jakarta dan Semarang pada Rabu (21/9/2022).
OTT tersebut merupakan tindak lanjut dari laporan masyarakat yang diterima KPK. Pada Rabu sekitar pukul 16.00 WIB, tim KPK mendapat informasi perihal penyerahan sejumlah uang tunai dari pengacara Eko Suparno kepada Desy Yustria selaku PNS pada Kepaniteraan MA di salah satu hotel di Bekasi. Desy merupakan representasi Sudrajad.
Selang beberapa waktu, pada Kamis (22/9/2022) sekitar pukul 01.00 WIB dini hari, tim KPK kemudian bergerak dan mengamankan Desy di rumahnya beserta uang tunai sejumlah sekitar 205.000 dolar Singapura.
Secara terpisah, tim KPK juga langsung mencari dan mengamankan Yosep Parera dan Eko Suparno yang berada di wilayah Semarang, Jawa Tengah, guna dilakukan permintaan keterangan.
Para pihak yang diamankan beserta barang bukti kemudian dibawa ke Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan di Gedung Merah Putih KPK. “Selain itu, AB (Albasri, PNS MA) juga hadir ke Gedung Merah Putih KPK dan menyerahkan uang tunai Rp 50 juta,” ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam jumpa pers, Jumat (23/9/2022) dini hari.
“Adapun jumlah uang yang berhasil diamankan sebesar 205.000 dolar Singapura dan Rp 50 juta,” sambungnya dikutip dari CNN Indonesia.
Perkara ini diawali dengan laporan pidana dan gugatan perdata terkait dengan aktivitas dari Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) di Pengadilan Negeri Semarang yang diajukan Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana dengan diwakili kuasa hukumnya yakni Yosep dan Eko.
Pada proses persidangan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, Heryanto dan Eko belum puas dengan keputusan pada dua lingkup pengadilan tersebut, sehingga melanjutkan upaya hukum kasasi pada MA.
Pada 2022, dilakukan pengajuan kasasi oleh Heryanto dan Ivan Dwi dengan masih mempercayakan Yosep dan Eko sebagai kuasa hukum.
“Dalam pengurusan kasasi ini, diduga YP (Yosep Parera) dan ES (Eko Suparno) melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengkondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES,” tutur Firli.
Pegawai MA yang bersedia dan bersepakat dengan Yosep dan Eko yaitu Desy Yustria dengan pemberian sejumlah uang. Desy selanjutnya turut mengajak PNS pada Kepaniteraan MA Muhajir Habibie dan Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu untuk ikut serta menjadi penghubung penyerahan uang ke majelis hakim.
Desy dkk diduga sebagai representasi Sudrajad dan beberapa pihak di MA untuk menerima uang dari pihak-pihak yang mengurus perkara di MA. “Terkait sumber dana yang diberikan YP dan ES pada majelis hakim berasal dari HT (Heryanto Tanaka) dan IDKS (Ivan Dwi),” imbuh Firli.
Jumlah uang yang diserahkan secara tunai oleh Yosep dan Eko pada Desy sekitar 202.000 dolar Singapura (ekuivalen Rp 2,2 miliar).
“Kemudian oleh DY (Desy Yustria) dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar sejumlah Rp 250 juta, MH (Muhajir Habibie) menerima sekitar Rp 850 juta, ETP (Elly Tri) menerima sekitar Rp 100 juta dan SD (Sudrajad) menerima sekitar Rp 800 juta yang penerimaannya melalui ETP,” tutur Firli.
Dengan penyerahan uang tersebut, putusan yang diharapkan Yosep dan Eko pastinya dikabulkan dengan menguatkan putusan kasasi yang sebelumnya menyatakan KSP Intidana pailit.
“Ketika tim KPK melakukan tangkap tangan, dari DY ditemukan dan diamankan uang sekitar 205.000 dolar Singapura dan adanya penyerahan uang dari AB (Albasri) sekitar Rp 50 juta,” kata Firli.
“KPK menduga DY dkk juga menerima pemberian lain dari pihak-pihak yang beperkara di Mahkamah Agung dan hal ini akan didalami lebih lanjut oleh tim penyidik,” tambahnya.
Sebagai pemberi suap, Heryanto, Yosep, Eko, dan Ivan Dwi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sedangkan Sudrajad, Desy, Elly, Muhajir, Redi, dan Albasri sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Siapa Sudrajad Dimyati?
Sudrajad Dimyati lahir di Yogyakarta pada 27 Oktober 1957. Dikutip dari laman resmi Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), Sudrajat merampungkan sekolahnya di SMAN 3 Yogyakarta. Ia lantas menyelesaikan program S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Sudrajad pernah menduduki posisi di beberapa pengadilan di Indonesia. Mulai dari Ketua Hakim Pengadilan Negeri Wonogiri hingga menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak hingga 2014 lalu.
Sudrajad mencoba peruntungan mencalonkan diri sebagai hakim agung pada tahun 2013. Namun, upayanya kandas kala itu. Saat itu ia diduga melakukan suap kepada salah satu anggota Komisi III DPR, Bachrudin Nasori di toilet. Dugaan “lobi toilet” ini sempat ramai jadi perbincangan.
Dugaan suap itu bermula usai proses uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung di Komisi III DPR 18 September 2013. Sudrajad diduga melakukan pertemuan dengan Bachrudin di toilet. Pertemuan itu diduga terkait upaya suap agar Sudrajad lolos menjadi hakim agung.
Imbas dugaan itu Komisi Yudisial (KY) memanggil dan memeriksa Sudrajad. Pada akhirnya, KY menyatakan Sudrajat tidak terbukti melakukan lobi terhadap anggota Komisi III. Nama baiknya juga dipulihkan imbas dugaan kasus tersebut.
Setahun setelahnya, Sudrajad kembali mengikuti seleksi hakim agung MA di Komisi III DPR. Ia kemudian terpilih dengan mengantongi 38 suara dari total 50 anggota Komisi III. Di MA, Sudrajad bertugas sebagai hakim agung Kamar Perdata. [ant/wip]