(IslamToday ID) – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan I Wayan Sudirta berpandangan pidana hukuman mati adalah produk politik. Dengan demikian, menurut Wayan, sesungguhnya pidana hukuman mati juga sudah memihak para lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menentang hukuman mati tersebut.
“Karena ini produk politis, jadi begini jadinya. Anggap lah ini produk politik yang sesungguhnya sudah memihak adik-adik (LSM HAM). Sudah memihak,” kata Wayan dalam diskusi yang digelar Kontras bertajuk “Hukuman Mati di Indonesia: Perkembangan Advokasi Kasus Hukuman Mati dan Kondisi Terpidana Mati di Indonesia Pasca Penetapan KUHP,” di Kawasan Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Menurutnya, seorang terpidana sebelum dieksekusi mati, masih bisa melakukan berbagai upaya hukum seperti banding, kasasi, serta peninjauan kembali.
Wayan juga menilai, proses eksekusi yang panjang itu secara tidak langsung membuat pidana hukuman mati dimoratorium atau dihapuskan.
“Kalau begitu berbelitnya, masih kah kita ragu bahwa hukuman mati ini sebenarnya secara terselubung sudah moratorium kok,” ujar Wayan.
Selain itu, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra Habiburokhman juga mengakui bahwa putusan hukuman mati itu bersifat politis. Menurut Habiburokhman produk hukum berupa pidana hukuman mati ditetapkan oleh para pejabat negara yang mana menjabat posisi politis.
Ia mengatakan, presiden dan jaksa agung adalah posisi politis yang harus menjawab aspriasi masyarakat.
“Mungkin dirasakan ini cheating nih menutupi ketidakmampuan dengan menutupi presekusi hukuman mati, tapi jangan salah ada juga kelompok masyarakat yang juga pengen dilakukan eksekusi tersebut,” ucap Habiburokhman.
“Ya kalau dipilih dengan berbagai macam pertimbangan, itulah faktanya gitu kan cuma saya pikir, nggak serendah itu juga moral pejabat kita, siapapun yang berkuasa,” sambungnya.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menambahkan dirinya pernah membuat tulisan dalam sebuah buku yang mengulas soal kuatnya konteks politik dalam putusan hukuman mati.
Dalam buku itu, ia bersama sejumlah ahli sosiolog, antropolog, serta krimonolog mencatat bahwa dominasi putusan hukuman mati itu bukan berdasarkan jumlah kasus yang tinggi atau berdasarkan kasus yang paling berdampak sama masyarakat. Hal itu, menurutnya, dicatat sejak era Presiden pertama Indonesia, Soeharto.
“Zaman Soekarno berapa putusan, jaman Soeharto berapa putusan dan selanjutnya. Kita juga tahu belakangan soal eksekusi mati juga sering kali dijadikan alasan bagi presiden untuk menyatakan dirinya tegas dalam penegakan hukum tapi kan kita tahu sendiri kondisi seperti apa,” kata Julius.