(IslamToday ID) – Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio menyoroti proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) lantaran biaya pembangunan kembali mengalami pembengkakan. Padahal, proyek ini sebenarnya tidak terlalu mendesak bagi rakyat Indonesia.
Pembengkakan biaya (cost overrun) kereta cepat mencapai 1,2 miliar dolar AS atau setara Rp 18 triliun dengan bunga pinjaman 3,4 persen.
Hendri menyayangkan peristiwa yang merugikan keuangan negara seperti itu kembali terjadi. Apalagi, katanya, kereta cepat yang dikerjasamakan dengan China sebenarnya adalah proyek kurang kerjaan.
“Maksudnya, nggak ada kereta cepat juga nggak apa-apa, eh malah maksa diada-adain,” ujarnya dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (14/4/2023).
Buntutnya, justru kini Indonesia tersandera dengan proyek tidak penting tersebut. Terlebih setelah pihak China meminta agar APBN Indonesia jadi penjamin proyek kereta cepat. “Eh, sekarang jadi bikin susah. Bahkan saat ini sepertinya kita tersandera,” pungkasnya.
Sementara, pengamat politik Dedi Kurnia Syah menilai Indonesia sudah tidak punya martabat di mata China karena telah gagal melobi Negeri Tirai Bambu untuk menurunkan suku bunga pinjaman proyek KCJB.
“Tentu saja, Indonesia tidak miliki martabat di mata China, sekaligus Indonesia bersiap dikendalikan China untuk urusan ini,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini mengatakan China adalah negara besar yang tidak mungkin bisa didikte oleh negara lain, kecuali sama besarnya dan memiliki daya tawar kekuatan politik yang setara.
Dalam pandangan Dedi, proyek kereta cepat yang dikerjakan China sesungguhnya adalah jebakan utang. Ia pun meyakini Luhut dan Jokowi memahami hal itu. “Karena seharusnya mereka mempelajari dulu portofolio China terkait kerja sama sejenis dengan negara lain,” katanya.
Menurutnya, Jokowi dan Luhut lalai melakukan kerja sama dengan China hingga berujung pada membengkaknya utang negara. “Luhut dan Jokowi terbukti abai dan lalai dalam membangun kemitraan dengan China karena potensial merugikan dengan kerugian besar,” katanya.
Sebagai negara kreditur, kata Dedi, rasanya tidak akan punya kekuatan untuk menentukan kebijakan utang China. “Dan sekarang Indonesia telah dibawa masuk dalam perangkap itu,” pungkas Dedi. [wip]