(IslamToday ID) – Mantan presiden yang juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespons pernyataan ahli hukum tata negara Denny Indrayana soal pengambilalihan Partai Demokrat oleh Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko lewat upaya peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
SBY juga mengaku mendapat informasi dari salah seorang mantan menteri soal PK yang dilayangkan Moeldoko itu.
“Berkaitan dengan PK Moeldoko di MA, tadi malam saya terima telepon dari mantan menteri yang sampaikan pesan politisi senior (bukan Partai Demokrat) berkaitan PK Moeldoko ini. Pesan seperti ini juga kerap saya terima. Jangan-jangan ini serius bahwa Demokrat akan diambil alih,” kata SBY melalui akun Twitter pribadinya, dikutip Senin (29/5/2023).
Berdasarkan akal sehat, menurutnya, sulit diterima PK Moeldoko dikabulkan MA karena sudah 16 kali kalah di pengadilan. “Kalau ini terjadi, info adanya tangan-tangan politik untuk ganggu Demokrat agar tak bisa ikuti Pemilu 2024 barangkali benar. Ini berita yang sangat buruk,” katanya.
SBY berharap pemegang kekuasaan tetap amanah, menegakkan kebenaran dan keadilan. Ia menyatakan Indonesia bukan negara predator dimana yang kuat memangsa yang lemah.
Ia juga menyebut Indonesia tidak menganut hukum rimba, dimana yang kuat menang dan yang lemah selalu kalah. SBY pun meminta seluruh kader Demokrat untuk mengikuti perkembangan PK Moeldoko itu.
“Kepada kader Partai Demokrat di seluruh Tanah Air agar mengikuti perkembangan PK Moeldoko ini sambil memohon pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Ikuti petunjuk ketua umum. Jika keadilan tak datang, kita berhak memperjuangkannya secara damai dan konstitusional,” katanya.
SBY juga menyinggung soal gugatan sistem pemilu yang dilayangkan di Mahkamah Konstitusi (MK) dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Ia menyebut jika itu terjadi maka bakal menimbulkan “chaos” politik karena tahapan pemilu sudah berjalan.
“Pertanyaan pertama kepada MK, apakah ada kegentingan dan kedaruratan sehingga sistem pemilu diganti ketika proses pemilu sudah dimulai? Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kepada KPU. Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan chaos politik,” tulis SBY.
Pertanyaan kedua, ia mempertanyakan apakah sistem pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi. Menurutnya, berdasarkan konstitusi, domain dan wewenang MK adalah menilai apakah sebuah UU bertentangan dengan konstitusi, bukan menetapkan UU mana yang paling tepat.
“Kalau MK tidak memiliki argumentasi kuat bahwa sistem pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi, sehingga diganti menjadi tertutup, mayoritas rakyat akan sulit menerimanya. Ingat, semua lembaga negara termasuk presiden, DPR dan MK harus sama-sama akuntabel di hadapan rakyat,” katanya.
Poin ketiga, ia mengatakan penetapan UU tentang sistem pemilu berada di tangan presiden dan DPR, bukan di tangan MK. Seharusnya presiden dan DPR punya suara tentang hal ini. “Mayoritas partai politik telah sampaikan sikap menolak pengubahan sistem terbuka menjadi tertutup. Ini mesti didengar,” katanya.
Ia meyakini dalam menyusun DCS, parpol dan Caleg berasumsi sistem pemilu tidak diubah, tetap sistem terbuka. Jika diubah di tengah jalan oleh MK, menurutnya, akan menjadi persoalan serius. “KPU dan parpol harus siap kelola krisis ini. Semoga tidak ganggu pelaksanaan pemilu 2024. Kasihan rakyat,” katanya.
SBY pun menilai Pemilu 2024 seharusnya tetap menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka. “Setelah Pemilu 2024, presiden dan DPR duduk bersama untuk menelaah sistem pemilu yang berlaku, untuk kemungkinan disempurnakan menjadi sistem yang lebih baik. Dengarkan pula suara rakyat,” pungkasnya. [wip]