(IslamToday ID) – Pengajar hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini meminta agar birokrat dan aparat tidak ikut cawe-cawe pada Pemilu 2024, sebagaimana yang akan dilakukan Presiden Jokowi. Titi menegaskan bahwa Jokowi selaku kepala negara membawahi birokrasi yang harus profesional, netral, dan non partisan dalam proses pemilu.
“Pernyataan bahwa (Jokowi) tidak akan netral karena punya kepentingan atas masa depan Indonesia 13 tahun ke depan, jangan sampai kemudian dimaknai berbeda oleh elemen-elemen krusial yang berada di bawah presiden, bahwa ketidaknetralan serupa juga harus ikut mereka lakukan ‘demi masa depan Indonesia’,” kata Titi, Jumat (2/6/2023).
Hal ini sangat krusial sebab presiden memegang kekuasaan tertinggi atas aparat bersenjata pula, dalam hal ini TNI dan Polri. Bahkan, UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah menetapkan bahwa TNI dan Polri tidak memiliki hak pilih dalam Pemilu 2024, baik itu hak dipilih maupun memilih. Ini sebagai wujud kesepakatan bersama bahwa mereka harus netral dari tarikan kepentingan politik praktis kubu mana pun yang berkompetisi.
Titi menyinggung bahwa masyarakat baru saja mengalami keterbelahan akibat pertarungan sengit Jokowi melawan Prabowo Subianto pada Pemilu 2019. Jokowi, sebagai sosok yang tak akan lagi menjabat sebagai orang nomor satu di negara ini, dinilai harus lebih bijaksana dan berperan jadi pemersatu bagi semua kelompok masyarakat, alih-alih tertarik ke salah satu poros politik dan mengekspresikannya secara vulgar.
“Hal-hal yang bisa memicu kontroversi dan spekulasi serta tafsir yang provokatif sebisa mungkin mesti dihindari, termasuk pula pernyataan yang ambigu yang bisa dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik elektoral,” jelas Titi dikutip dari Kompas.
“Di tengah dinamika politik hari ini, pemilu Indonesia justru membutuhkan kenegarawanan dan kebijaksanaan Presiden Jokowi,” lanjutnya.
Sebelumnya, pernyataan bahwa Jokowi akan cawe-cawe dalam Pemilu 2024 juga dikritik dari segi pemerintahan daerah, karena langkah ini rawan ditiru para kepala daerah yang juga bakal berkompetisi dalam Pilkada 2024. Ada 548 daerah, dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 98 kota, yang bakal menggelar pilkada tahun depan.
“Ini jelas berdampak pada penurunan moral politisi yang lain, yang merasa bahwa langkah yang diambil presiden adalah wajar jika mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara,” kata Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (UI) Hurriyah, Kamis (1/6/2023).
“Padahal ini sebuah alasan klise yang sering digunakan politisi,” lanjutnya.
Sikap ini berbahaya karena pada diri seorang kepala negara maupun kepala daerah melekat berbagai hak istimewa, wewenang, sumber daya, serta fasilitas negara yang seharusnya tidak dipakai untuk kepentingan kubu tertentu.
Terlebih, mereka membawahi ribuan ASN dan bermitra dengan aparat lainnya yang berdasarkan undang-undang tidak diperkenankan untuk tidak netral dalam kontestasi elektoral.
Kerawanan ini semakin potensial terjadi karena terdapat 24 gubernur dan 248 bupati/walikota bakal habis masa jabatannya jelang tahun 2024. Posisi mereka digantikan oleh penjabat (Pj) kepala daerah dari kalangan pejabat tinggi madya. [wip]