(IslamToday ID) — Seberapa penting arti rakyat Indonesia di mata pemerintah? Itu pertanyaan yang akan muncul jika mendengar rencana pemerintah tetap akan melakukan ekspor alat pelindung diri (APD). Belum lagi komitmen pemerintah dengan 91 hari darurat corona, hingga dinyatakannya status corona sebagai bencana nasional. Ada yang kontras antara kebijakan pemerintah dan realita di lapangan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, baru-baru ini mengatakan tetap akan melakukan ekspor APD ke Korea Selatan dan Jepang. Sebagai bendahara negara rupanya dia tidak ingin melewatkan kesempatan bisnis di tengah-tengah minimnya ketersediaan APD bagi petugas medis dalam negeri. Ia mengatakan saat ini Indonesia adalah negara penghasil APD terbesar di dunia sehingga kerja sama untuk melakukan ekspor APD tidak bisa ditolak.
Kabar kesanggupan Indonesia melakukan ekspor APD pertama kali disampaikan Menkeu Sri Mulyani usai dirinya mendampingi Presiden Jokowi mengikuti Forum KKT Luar Biasa G-20 di Istana Bogor pada (26/3/2020) lalu. Saat itu secara gamblang dia mengatakan bahwa IMF dan Bank Dunia akan “mendukung” para tenaga medis. Belakangan kita ketahui salah satu alasan yang pemerintah tetap ngotot melakukan ekspor APD adalah adanya kontrak dengan negara lain.
“Indonesia juga membantu (negara lain), karena salah satu negara penghasil APD terbesar dunia. Jadi kontrak dengan negara lain tetap akan kami penuhi tanpa kita korbankan kebutuhan APD di dalam negeri,” kata Menkeu Sri Mulyani (14/4/2020).
Lantas apa makna dibalik dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Pemendag) No.34/2020 yang isinya pelarangan sementara ekspor antiseptik, bahan baku masker, APD, dan masker. Aturan yang Permendag ini bahkan dianggap sebagai langkah startegis dalam masa darurat corona. Perlu ditegaskan Permendag No.34/2020 ini ditetapkan pada tanggal 31 Maret 2020 atau selang lima hari dari pernyataan kesanggupan ekspor APD yang disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani.
“Langkah cepat dan strategis ini dilakukan untuk mengantisipasi kelangkaan sejumlah alat kesehatan di masa tanggap darurat covid-19,” ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto (3/4/2020).
Bahkan, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah memprediksikan kebutuhan APD untuk jangka waktu empat bulan terhitung sejak Maret lalu adalah 12 juta paket APD. Sebanyak 12 juta paket APD tersebut terdiri dari pakaian, caps, sarung tangan, pelindung kaki, towel, pelindung tangan dan kacamata pelindung atau goggles. Bahkan Kemenperin memprediksikan permintaan akan bertambah sebanyak 100-500 persen.
Keluhan APD Langka Bahkan Kosong
Minimnya stok ketersediaan APD juga pernah dikeluhkan oleh para tenaga kesehatan. Bahkan mereka mengancam melakukan mogok pelayanan. Hal ini terungkap dalam surat pernyataan bersama yang diinisiasi oleh lima organisasi kesehatan yang terdiri dari IDI, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pada 27 Maret 2020. Meskipun akhirnya pernyataan mogok pelayanan kesehatan tersebut langsung ditarik sehari kemudian, pada 28 Maret 2020.
Keberadaan APD di tanah air sangat minim bahkan pada (31/3) ada 933 rumah sakit dan 3.800 puskesmas mengeluhkan kekurangan APD. APD hanya tersedia di beberapa rumah sakit seperti rumah sakit rujukan, RS TNI, RS POLRI dan RS darurat penanganan corona. Kebutuhan APD menjadi sangat penting karena tidak jarang pasien langsung mendatangi RS swasta dan klinik kesehatan tanpa mendatangi RS rujukan atau RS darurat corona.
“Tetapi yang masih banyak memerlukan adalah RS swasta, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), hingga klinik yang memang ada hubungannya dengan pelayanan Covid-19. Kami mengumpulkan data bahwa masih ada 933 rumah sakit dan sekitar 3.800 puskesmas seluruh Indonesia yang masih butuh APD,” tutur Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhilah (31/3/2020).
Kelangkaan APD bagi tenaga medis sungguh sangat memprihatinkan, tak jarang para petugas medis mengabaikan keselamatan dirinya ditengah ancaman penularan virus ketika berinteraksi dengan pasien. Bagaimana tidak satu masker yang idealnya hanya digunakan penanganan satu pasien justru digunakan untuk durasi satu shift kerja. Bahkan di Desa Panyutran Kecamatan Padaherang Kabupaten Pangandaran petugas medis menggunakan jas hujan dan helm sebagai pelindung.
“Ya benar, itu sebenarnya akibat kondisi darurat, tak ada APD. Kami juga sudah sedang memesan, untuk persediaan,” ungkap Kepala Puskesmas Padaherang, Pangandaran Suryati, (24/3/2020).
Kelangkaan APD–Masker, Bentuk Mal–administrasi
Seiring ramainya kabar kebijakan ekspor APD yang dilakukan oleh pemerintah ditengah-tengah tingginya permintaan APD dalam negeri membuat Ombudsman RI kerap menerima keluhan dari masyarakat. Jika pemerintah terbukti benar membiarkan terjadinya kelangkaan APD dan masker di dalam negeri, maka hal itu dikategorikan sebagai maladministrasi.
“Melakukan pembiaran terhadap kondisi itu sehingga kebutuhan masyarakat dan pelayanan kesehatan terganggu adalah suatu maladministrasi,” terang Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih (8/4/2020).
Ombudsman bahkan sudah memperingatkan pemerintah untuk menerbitkan larangan ekspor serta menerbitkan regulasi untuk mengatur harga di tengah situasi darurat kesehatan masyarakat Covid-19. Selain itu pemerintah juga perlu menjerat para produsen APD dengan kebijakan domestic market obligation dalam rangka pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Perlu diingat bahwa kelangkaan masker di Indonesia sudah terjadi sejak awal tahun 2020. Selain langka harga masker di beberapa daerah juga naik drastis. Ironisnya di tengah situasi kelangkaan masker, Indonesia masih melakukan ekspor masker. Menurut data BPS sepanjang bulan Januari saja ekspornya mencapai US$ 2,1 juta. Dan mengalami kenaikan fantastis pada bulan Februari yakni US$ 75 juta.
Penulis: Kukuh Subekti / Editor: Tori Nuariza