(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menuding kelompok oligarki di lingkaran pemerintah menjadi salah satu penyebab rentetan bencana alam di sejumlah wilayah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir ini.
Menurutnya, bencana alam bisa diklasifikasi menjadi dua, yakni bencana yang disebabkan oleh posisi Indonesia pada tiga pertemuan lempeng besar dan bencana ekologis.
Ia mengatakan bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan bisa dicegah dengan memelihara lingkungan serta sumber daya alam.
Mengutip data BNPB, dalam rentang 1 Januari-3 Desember 2020 banjir menjadi bencana paling banyak terjadi, dengan total 969 kejadian. Disusul puting beliung 809 kejadian, tanah longsor 514 kejadian, serta kebakaran hutan 325 kejadian.
“Sejak masa Orde Baru sampai hari ini, kita saksikan sumber daya alam kita dikelola secara tidak adil. Walaupun konstitusi sudah menyatakan bahwa sumber daya alam itu digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” kata Nur melalui siaran langsung di akun YouTube “Bersihkan Indonesia”, Jumat (29/1/2021).
Menurut catatan Walhi pada 2018, setidaknya 103,4 juta hektare daratan di Indonesia sudah dibebani izin usaha, mulai dari sektor kehutanan, perkebunan, mineral dan batubara sampai wilayah kerja minyak dan gas.
Pada 2019, Kementerian Pertanian menetapkan tutupan perkebunan sawit menyelimuti 16 juta hektare lahan nasional. Nur mengatakan luas ini setara 1,2 kali luas pulau Jawa. Itu pun belum termasuk perkebunan sawit yang berdiri secara ilegal.
Nur menyinggung ikatan erat antara pemerintah dan pengusaha. Ia mengutip studi Tempo yang mengungkap 45,5 persen atau 262 anggota DPR terafiliasi dengan 1.016 perusahaan. Menurutnya, dari izin yang diterbitkan, 60 persen daratan di Indonesia sudah dialokasikan untuk korporasi.
Mengacu pada data tersebut, ia mengaku tak heran sejumlah beleid (aturan) kontroversial yang diduga menguntungkan korporasi seperti UU Cipta Kerja hingga UU Mineral dan Batubara lolos di parlemen. “Ini kondisi tali temali tadi, oligarki, perkawinan elite ekonomi dan politik,” ujarnya.
Sementara, peraturan perundang-undangan yang mendorong kegiatan ekstraktif seperti penggundulan hutan hingga penghancuran lahan gambut, berperan besar dalam menyumbang emisi gas rumah kaca yang memperparah krisis iklim.
“Jadi sekarang kita sedang berada dalam lingkungan setan. Karena dampak perubahan iklim itu cuaca ekstrem, curah hujan tinggi, angin puting beliung. Tapi kita tidak sadar dan terus lakukan eksploitasi. Jadi kita ibarat gali lubang kubur sendiri,” tuturnya.
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rahma Mary mengatakan negara wajib memastikan hak setiap warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat terpenuhi. Ini merupakan amanat Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.
Sementara situasi alam saat ini, menurutnya, tak sesuai harapan. Ia mencatat hanya dalam 23 hari pada bulan ini, 1,9 juta jiwa harus mengungsi akibat bencana yang merupakan dampak kerusakan ekologis.
Siti mendapati total ada 197 bencana yang terjadi dalam kurun waktu tersebut, di mana banjir meliputi 134 kejadian, longsor 31 kejadian, dan puting beliung 24 kejadian.
Setidaknya 184 jiwa menjadi korban dalam rentetan bencana itu. 2.700 orang mengalami luka-luka dan 9 orang dinyatakan hilang. Banjir Kalimantan Selatan jadi salah satu yang paling disorot.
Menurutnya, BMKG juga telah memprediksi cuaca ekstrem dan puncak musim hujan pada Januari-Februari 2021. Namun, kata Siti, pemerintah tidak mengoptimalkan upaya antisipasi dan masalah lingkungan pun diabaikan.
“Pembiaran terhadap kerusakan lingkungan yang berakibat pada kematian rakyat itu adalah jelas pelanggaran hak hidup, hak menjaga kehidupan yang dilakukan pemerintah,” pungkasnya. [wip]