(IslamToday ID) – Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Presiden Jokowi diproyeksi bakal mewariskan utang lebih dari Rp 10.000 triliun atau Rp 10 kuadriliun di akhir kepemimpinannya.
Proyeksi itu berangkat dari posisi utang yang ditanggung negara saat ini yang mencapai Rp 8.670,66 triliun, terdiri dari utang pemerintah Rp 6.527 triliun per akhir April 2020 dan utang BUMN yang mencapai Rp 2.143,37 triliun per kuartal IV 2020.
“Warisan utang Presiden Jokowi kepada presiden berikutnya bisa lebih dari Rp 10.000 triliun,” ujar ekonom senior Indef Didik J Rachbini.
Menanggapi proyeksi tersebut, sejumlah ekonom sepakat bahwa utang Indonesia masuk kategori gawat alias lampu kuning. Untuk itu, pemerintah perlu sangat berhati-hati dalam pengelolaan utang lantaran risiko tumpukan utang mengintai Indonesia.
Ekonom Indef, Dzulfian Syafrian menuturkan skema terburuk dampak tumpukan utang adalah negara bangkrut apabila pemerintah gagal membayar utang tersebut. “Kemungkinan terburuk? Ya tentunya Indonesia bisa bangkrut karena utang ini,” ujarnya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (30/6/2021).
Serupa dengan kebangkrutan perusahaan, sebuah negara dikatakan bangkrut apabila gagal membayar utangnya. Imbasnya, negara tersebut akan masuk dalam daftar hitam (blacklist) secara global. Tidak ada negara yang bersedia menjadi kreditur kepada negara yang dinyatakan bangkrut tersebut.
“Sama seperti perusahaan atau seperti manusia, kalau tidak bisa bayar cicilan nanti namanya jadi blacklist di sektor keuangan. Kalau besok dia mau cicil motor atau KPR tidak bisa karena sudah di-blacklist. Negara juga begitu, nanti dia akan di-blacklist, di-banned. Konkretnya paling jelas surat utangnya itu istilahnya akan menjadi junk bond, surat utang sampah dampaknya orang tidak ada yang mau ngasih pinjaman ke kita,” terangnya.
Dalam catatan CNN Indonesia, ada sejumlah negara yang kolaps akibat tumpukan utang. Sebut saja, Yunani, Argentina, Zimbabwe, Venezuela, dan Ekuador.
Menurut Dzulfian, sumber ancaman utang justru berasal dari utang BUMN senilai Rp 2.143,37 triliun tersebut. Pasalnya, banyak perusahaan plat merah yang kinerja keuangannya terdampak Covid-19.
Pada satu sisi, perusahaan plat merah itu mengalami kerugian, di lain pihak mereka harus membayar utang-utang jatuh tempo, sehingga mengalami gagal bayar utang. Contohnya, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang baru saja menunda pembayaran kupon global sukuk global.
“Kasus Garuda itu puncak gunung es, karena Garuda itu sudah gagal bayar utang, tapi BUMN-BUMN lain juga seperti itu. Bahkan BUMN Karya sebelum itu sudah di-banned oleh lembaga utang lainnya karena kondisi keuangan mereka sangat parah. BUMN-BUMN lain juga seperti itu, utang bengkak sekali dan bukan hanya BUMN, perusahaan swasta nasional juga seperti itu,” ujarnya.
Pada akhirnya, apabila banyak BUMN yang mengalami gagal bayar utang, maka pemerintah harus turun tangan memberikan dana talangan (bailout). Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan di tengah APBN yang juga masih terbebani penanganan dampak pandemi Covid-19.
Sebagai gambaran, penerimaan negara hanya Rp 726 triliun per Mei 2021 sedangkan belanja negara mencapai Rp 945 triliun. Akibatnya, terjadi defisit APBN sebesar Rp 219 triliun per akhir Mei 2021.
Sementara, utang pemerintah Indonesia sebesar Rp 6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
Jumlahnya memang turun Rp 109,14 triliun dalam sebulan terakhir dari Rp 6.527,29 triliun atau 41,18 persen dari PDB pada akhir April 2021. Namun bila dibandingkan dengan Mei 2020, jumlah utang pemerintah melonjak Rp 1.159,58 triliun dari Rp 5.258,57 triliun atau 32,09 persen dari PDB.
Narasi Batas Aman
Dzulfian menuturkan pemerintah selalu membangun narasi utang pemerintah masih dalam batas aman karena masih di bawah rasio, yakni maksimal 60 persen dari PDB. Menurutnya, pernyataan tersebut benar, namun perlu diingat adalah utang yang lebih membahayakan adalah ancaman utang dari BUMN maupun swasta karena puncak gunung es tumpukan utang sudah mulai terlihat saat ini.
“Narasi yang coba dibangun pemerintah utang kita aman, tapi mereka hanya batasi analisisnya utang pemerintah saja, padahal ancaman itu yang lebih bahayakan bukan dari utang pemerintah, tapi dari utang swasta. Itu yang ditutupi pemerintah tapi yang namanya bangkai akhirnya tercium juga,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan tumpukan utang jika dibiarkan bisa memicu krisis ekonomi bagi Tanah Air. Ibarat bom waktu, kondisi Indonesia sudah rentan sehingga tinggal menunggu faktor pemicunya.
Menurutnya, pemicu krisis ekonomi yang membayangi Indonesia adalah dari sisi moneter, yakni aliran modal asing keluar (capital outflow). Capital outflow ini disebabkan berkurangnya kepercayaan asing terhadap kondisi fiskal Indonesia yang ditopang oleh utang.
“Ini mengakibatkan nanti bisa terjadi devisa keluar, outflow. Investor sudah tidak mau masuk dulu karena melihat fiskalnya ini dalam keadaan krisis ditopang utang menumpuk terus. Akhirnya, pertumbuhan ekonomi masuk krisis dan bahkan lebih parah karena diikuti krisis moneter, dimana rupiah akan tertekan dan ekonomi tergelincir,” katanya.
Selain faktor domestik, aliran modal keluar bisa dipicu oleh pulihnya perekonomian negara maju seperti AS. Kondisi ini ditandai dengan perbaikan sejumlah indikator seperti inflasi, indeks manufaktur, angka pengangguran, dan sebagainya.
Pada Mei 2021 lalu, inflasi AS menembus angka 5 persen, atau lebih tinggi dari target bank sentral AS, The Fed yakni 2 persen.
“Kalau ekonomi AS dan negara maju lain membaik, inflasi cukup tinggi sehingga quantitative easing distop itu akan terjadi arus balik capital ke sana,” jelasnya.
Penjualan Aset Negara
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto menambahkan risiko utang menumpuk adalah penjualan aset negara untuk menaikkan pendapatan. Dengan kenaikan pendapatan negara, maka pemerintah bisa melakukan belanja, salah satunya membayar cicilan utang.
“Kalau kemudian bisa menjual (aset) itu bisa terjadi kalau kemudian kita tidak punya uangnya. Katakanlah, situasi susah tapi harus bayar utang, dipajakin juga susah, bisa jadi ada yang dijual, tapi tentu saja itu tergantung situasinya,” ujarnya.
Ia mengatakan kondisi itu pernah terjadi pada 2002 lalu ketika Indonesia melepas kepemilikan mayoritas saham PT Indosat Ooredoo Tbk, yang dulunya bernama PT Indosat Tbk.
“Dulu, Indosat ketika menjual BUMN itu memang tidak disebutkan untuk bayar utang, memang tidak secara eksplisit. Tapi, memang di APBN itu kan tidak ada namanya earmark kalau uang ini dipakai untuk apa, bayar utang atau belanja apa,” ujarnya.
Saat itu pemerintahan Presiden Megawati membutuhkan dana untuk menutup defisit anggaran yang mencapai Rp 27 triliun atau 1,6 persen dari PDB karena imbas krisis keuangan 1998. Privatisasi BUMN diharapkan bisa memberikan sedikit sumbangan untuk meringankan defisit APBN.
“Prinsipnya semua pendapatan didapatkan dari APBN lalu semua pengeluaran dikeluarkan dari APBN, tapi berarti beberapa yang kita dapatkan itu adalah dari menjual BUMN, kemudian diantara belanjanya adalah untuk bayar utang,” jelasnya.
Sebagai gambaran, nilai Barang Milik Negara (BMN) yang merupakan aset negara mencapai Rp 5.949,9 triliun pada tahun lalu. Angka itu berdasarkan audit oleh BPK RI yang menyebabkan peningkatan nilai aset tetap dalam neraca LKPP dari sebelumnya Rp 1.931,1 triliun.
Namun, ia berpandangan negara tidak akan mengalami kebangkrutan akibat utang. Pasalnya, sebagian besar utang tersebut sifatnya jangka panjang sehingga Indonesia tidak mengalami gagal bayar utang.
“Utang ini sebagian besar jangka panjang, jadi tidak langsung sekarang (bayar) terus bangkrut, tidak juga,” katanya.
Selain itu, mayoritas utang adalah utang pemerintah. Sementara, pemerintah punya kewenangan dan kekuasan untuk mengelola sumber daya, termasuk aset negara. Salah satunya dengan menjual aset negara seperti yang terjadi pada Indosat.
“Dilihat dari sudut pandang pemerintah itu ada banyak hal yang bisa tanda petik digadaikan untuk tunjukkan kita tidak bangkrut,” ujarnya.
Secara terpisah, Staf khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo menerangkan proyeksi rasio utang publik Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Hal ini berdasarkan ramalan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
“Proyeksi utang publik (Indonesia) rendah,” kata Yustinus dalam Diskusi MEK PP Muhammadiyah: Tafsir Keadilan dalam Rancangan Tarif PPN belum lama ini.
Ia menjelaskan proyeksi IMF menunjukkan utang publik Indonesia naik sekitar 8 persen menjadi 38,5 persen dari PDB pada 2020.
Namun, angka itu masih lebih rendah dibandingkan utang publik negara tetangga tahun lalu seperti Vietnam 46,6 persen dari PDB, Thailand 50,4 persen dari PDB, dan Singapura 131 persen dari PDB.
Rasio utang publik Indonesia juga di bawah China 61,7 persen dari PDB, Korea 48,4 persen dari PDB, Amerika Serikat (AS) 131 persen dari PDB, Jepang 266,2 persen dari PDB, dan Jerman 73,3 persen dari PDB.
Yustinus berharap pandemi Covid-19 segera selesai. Dengan demikian, penerimaan pajak meningkat dan pengelolaan utang di Indonesia bisa semakin baik.
BI Sebut Masih Aman
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan utang pemerintah masih dalam batas aman. Apalagi kebijakan pembiayaan pemerintah selalu diawasi oleh DPR.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan defisit APBN dan keseimbangan primer sampai akhir Mei 2021 mencapai Rp 219,3 triliun dan Rp 67,6 triliun.
Hingga akhir Mei 2021, realisasi pembiayaan utang tercapai sebesar Rp 330,1 triliun atau 28 persen, terdiri atas realisasi SBN (neto) sebesar Rp 348,0 triliun dan realisasi pinjaman (neto) sebesar negatif Rp 17,9 triliun, sementara kontribusi BI sesuai dengan SKB I mencapai Rp 116,26 triliun.
“Kalau pandangan BI dengan rasio terhadap PDB, utang pemerintah masih relatif aman. Manajemennya juga cukup prudent karena semua penambahan utang itu kan termasuk defisit fiskal dan sudah disetujui parlemen,” kata Perry pada acara Focus Group Discussion (FGD) Bank Indonesia dengan para pemimpin redaksi media massa secara virtual, Senin (28/6/2021).
Untuk mengendalikan utang, lanjut Perry, penerimaan pajak harus ditingkatkan dan pengeluaran harus diturunkan. Namun saat ini pemerintah sedang melakukan belanja dalam jumlah besar untuk penanganan pandemi Covid-19.
BI juga memberikan dukungan untuk pemenuhan pembiayaan utang dalam pelaksanaan lelang SBN lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan skema burden sharing SKB II di tahun 2020. Lewat SKB I, pembelian SBN oleh BI menyentuh angka Rp 75,86 triliun dan lewat skema SKB II, pembelian SBN oleh BI tercatat sebesar Rp 397,56 triliun untuk pembiayaan public goods dan Rp 177,03 triliun untuk pembiayaan non public goods.
“Sehingga untuk Rp 397 triliun ini utang tetapi zero cost bagi pemerintah ini adalah dukungan dari kami juga,” kata Perry.
Secara terpisah, Kepala Food Center Sustainable Food Development Indef Abra Talattov mengatakan, pertumbuhan belanja negara yang agresif di tengah penerimaan perpajakan yang rendah mengakibatkan defisit APBN terus melebar.
Implikasinya, beban APBN untuk membayar bunga utang semakin tinggi. Hal itu terefleksikan dari proporsi belanja bunga utang terhadap penerimaan perpajakan yang pada tahun 2014 hanya 11,1 persen terus membengkak menjadi 17,4 persen pada 2020.
“Bahkan kondisi APBN semakin berisiko karena beban bunga utang semakin menjadi parasit bagi APBN,” ucap Abra dalam diskusi virtual, Senin (28/6/2021).
Ia mengatakan, ongkos bunga utang yang semakin menggerus APBN yang pada gilirannya berdampak terhadap alokasi belanja yang urgen untuk hajat hidup rakyat seperti belanja modal, belanja subsidi, dan belanja bantuan sosial. Ketiga, belanja tersebut porsinya terhadap penerimaan pajak jauh lebih kecil dibandingan porsi belanja bunga utang.
“Jadi fungsi APBN untuk siapa? Apakah untuk masyarakat secara langsung melalui belanja modal maupun belanja subsidi? Atau untuk para penikmat utang pemerintah baik pemilik SBN maupun investor asing,” ucapnya. [wip]