(IslamToday ID) – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah terus berupaya menekan peningkatan utang dan beban bunganya. Untuk itu, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah dan bekerja sama dengan para pemegang kebijakan lainnya.
“Berbagai kebijakan extraordinary (luar biasa) yang dilakukan, termasuk kerja sama dengan Bank Indonesia (BI), merupakan langkah-langkah yang akan terus dilakukan secara proper,” kata Sri Mulyani pada Rapat Paripurna DPR RI Ke-3 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di DPR RI, Selasa (24/8/2021).
Hal ini menjawab pandangan fraksi DPR sebelumnya tentang utang pemerintah. Lebih jauh, Sri Mulyani memaparkan salah satu kerja sama yang dilakukan adalah dengan bank sentral.
Berbekal Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan II yang berjalan sampai akhir 2020 diantaranya, kerja sama itu berhasil menekan turunnya yield Surat Utang negara (SUN) 10 tahun dari 8,3 persen pada Maret 2020, menjadi 5,9 persen pada akhir 2020.
Selain itu, melalui peran BI sebagai standby buyer SBN di pasar perdana, peran bank sentral sangat penting untuk menjaga stabilitas pasar obligasi dan menjaga integritas pasar negara.
Sementara melalui mekanisme burden sharing, BI juga menanggung beban utang pengendalian pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional.
Yang teranyar, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI, Senin (23/8/2021), telah menetapkan SKB III. Tujuannya untuk memperkuat kerja sama dalam pembiayaan sektor kesehatan dan kemanusiaan selama pandemi Covid-19.
Penetapan SKB baru itu menggunakan landasan hukum yang sama dengan SKB I dan II yang mulai berlaku di 2020 yaitu UU No 2/2020, UU Bank Indonesia, UU mengenai Surat Utang Negara, dan UU mengenai Surat Berharga Syariah Negara.
Sementara itu, Sri Mulyani juga menegaskan bahwa defisit APBN Indonesia 2020 sebesar 6,1 terhadap PDB relatif masih lebih sederhana dibandingkan dengan negara-negara lain. Ia mencontohkan negara seperti India yang mengalami defisit sebesar 12,3 persen, China defisit 11,4 persen, Jepang, 12,6 persen, Inggris 13,4 persen, dan Amerika Serikat (AS) 15,8 persen, terhadap PDB masing-masing negara.
Sedangkan defisit APBN di Indonesia, seperti halnya di negara lain, memicu kenaikan rasio utang di 2020. Rasio utang Indonesia naik 9,2 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 39,4 persen, dibandingkan dengan 2019. Meski begitu, angka tersebut dinilai masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.
Sri Mulyani lalu mencontohkan India memiliki kenaikan rasio utang sebesar 15,7 persen (yoy) menjadi 89,6 persen di 2020; China naik 9,8 persen (yoy) menjadi 66,8 persen; Jepang naik 21,4 persen (yoy) menjadi 256,2 persen; Inggris naik 18,4 persen (yoy) menjadi 103,7 persen; AS naik 18,9 persen (yoy) menjadi 127,1 persen.
“Indonesia yang naik 9,2 persen dan rasio utangnya 39,4 persen, maka kita masih termasuk dalam kategori negara yang berhati-hati dan pruden dalam mengelola APBN. Bahkan dalam situasi syok yang luar biasa,” ujar Sri Mulyani seperti dikutip dari Tempo.
Hambat Pemulihan Ekonomi
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira mengatakan pembayaran bunga utang yang makin berat akan menghambat pemulihan ekonomi. Porsi bunga utang berarti sudah menyedot 21 persen dari total belanja pemerintah pusat di 2022.
“Bagaimana pemerintah mau dorong Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ketika bunga utangnya melebihi alokasi PEN 2022 yaitu Rp 321 triliun. Overhang utang risikonya cukup besar yakni utang bukan lagi leverage, tapi masuk kategori beban ke perekonomian,” kata Bhima seperti dikutip dari Koran-Jakarta.
Kondisi tersebut makin parah karena di sektor keuangan terjadi perebutan dana seiring dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) denominasi rupiah yang menyasar investor domestik. Pemilik dana akan memilih menempatkan investasiny di SBN dengan imbal hasil 6,8 persen, ketimbang deposito di bank hanya 5 persen per tahun.
“Rebutan dana akan berakhir dengan kesulitan bank menyalurkan kredit. Bank bisa ikut-ikutan malas karena kredit masih berisiko tinggi, sehingga mereka mengalihkan dana likuiditas ke SBN. Ini tidak sehat bagi ekonomi yang butuh supply likuiditas,” kata Bhima.
Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya) Wibisono Hardjopranoto mengatakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5-5,5 persen tersebut, diperlukan perbaikan pada sektor pertanian yang diharapkan dapat mendorong konsumsi rumah tangga.
“Memang banyak sektor pada Q2 tumbuh lumayan, tapi kontribusinya kecil-kecil. Sedangkan pertanian yang kontribusinya lumayan 14,27 persen, sayangnya hanya tumbuh 0,38 persen. Ini harus didorong lebih agar meningkatkan kontribusi konsumsi rumah tangga yang 55 persen lebih. Karena peran pemerintah hanya 9 persen dan ekspor impor hanya sekitar 1 persen. Kalau impor bisa kita tekan maka akan bisa juga membantu,” kata Wibisono.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Ike Janita Dewi mengatakan optimisme pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5-5,5 persen pada 2022 kurang realistis. Sebab tanpa dukungan sektor konsumsi rumah tangga yang didominasi oleh spending dari pelaku UMKM, sangat berat untuk mencapai pertumbuhan setinggi itu.
Apalagi hasil survei Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan sektor UMKM hanya memiliki modal untuk bertahan hidup 3-6 bulan lagi. Padahal, sampai hari ini belum tampak jelas strategi pemerintah untuk mengatasi hal itu secara komprehensif.
“Sebenarnya BPUM juga sudah disediakan di tahun 2020-2021. Tetapi, mekanisme dan tata penyalurannya masih banyak kendala. Beberapa persyaratan dan jumlahnya yang relatif kecil belum mampu mengatasi kekurangan modal kerja,” kata Ike.
Pemerintah, jelasnya, mesti punya terobosan untuk menyelamatkan sektor yang sebagian besar pekerja nasional masih bergantung di sana.
“Pembiayaan melalui kredit murah mesti tepat sasaran. UMKM ini tulang punggung ekonomi nasional, apalagi di saat pandemi begini, mereka terjepit oleh aneka pembatasan sekaligus punya peluang untuk bangkit kalau pemerintah mau cari solusi strategis,” kata Ike.
Salah satu solusi tersebut adalah terkait penyaluran kredit yang benar-benar tepat sasaran. Dengan bantuan teknologi, pemerintah seharusnya bisa mengerjakannya bersama perbankan. [wip]