(IslamToday ID) – Terdakwa pemerkosa 13 santriwati di Bandung, Herry Wirawan tak hanya dituntut hukuman mati tapi juga kebiri kimia. Selain itu, jaksa juga menuntut supaya identitas guru itu disebarluaskan. Hal ini untuk memberikan efek jera bagi terdakwa dan pelaku kejahatan serupa lainnya.
“Kami juga menjatuhkan atau meminta kepada hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas agar disebarkan, dan hukuman tambahan berupa tindakan kebiri kimia,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat Asep N Mulyana usai sidang tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa (11/1/2022).
Oleh jaksa, tuntutan hukuman itu dinilai telah sesuai dengan Pasal 81 Ayat (1), Ayat (3) dan Ayat (5) jo Pasal 76D UU No 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Sebagaimana diketahui, Herry memperkosa 13 santriwati di beberapa tempat, yakni di gedung yayasan pesantren, hotel, dan apartemen. Peristiwa itu berlangsung selama lima tahun yakni 2016-2021. Hal ini menyebabkan belasan perempuan di bawah umur itu mengandung, ada pula yang telah melahirkan.
Oleh Herry, anak-anak yang dilahirkan dari para korbannya diakui sebagai yatim piatu. Bahkan, anak-anak itu dijadikan alat oleh Herry untuk meminta dana kepada sejumlah pihak.
Lantas, apa yang dimaksud dengan hukuman kebiri kimia? Ketentuan tentang hukuman kebiri kimia dimuat dalam UU No 17 Tahun 2016 khususnya Pasal 81 Ayat (7).
Hukuman kebiri kimia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak. PP itu diteken Presiden Jokowi pada 7 Desember 2020.
Pasal 1 angka 2 PP tersebut menjelaskan bahwa tindakan kebiri kimia merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
“Sehingga menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi,” lanjutan pasal tersebut.
Dalam PP juga dikatakan bahwa tindakan kebiri kimia dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan itu dilaksanakan atas perintah jaksa setelah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Sosial.
Adapun pelaksanaan kebiri kimia dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya atas perintah jaksa. Lebih lanjut, PP No 70 Tahun 2020 menjelaskan bahwa tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun.
Sebelum dilakukan tindakan kebiri kimia, terpidana harus mengikuti penilaian klinis yang meliputi wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Setelah dilakukan penilaian klinis, ditarik kesimpulan untuk memastikan terpidana layak atau tidak dijatuhi tindakan kebiri kimia.
Apabila kesimpulan menyatakan tidak layak, maka pelaksanaan tindakan kebiri kimia ditunda paling lama enam bulan. Selama masa penundaan, dilakukan penilaian klinis dan kesimpulan ulang untuk memastikan layak atau tidaknya terpidana dikenakan tindakan kebiri kimia.
Jika penilaian klinis dan kesimpulan ulang masih tetap menyatakan terpidana tidak layak, maka jaksa memberitahukan secara tertulis kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dengan melampirkan hasil penilaian klinis dan kesimpulan ulang. [wip]