(IslamToday ID) – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan carut-marut Pemilu 2024 merupakan kombinasi antara Pemilu 1971 dan Pemilu 2009. Hal itu ia ungkapkan setelah sebelumnya melakukan penelitian dan pengamatan secara ilmiah.
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini berpengaruh besar terhadap keberlangsungan dan keberlanjutan partai politik di Indonesia, karena dengan terang-terangan pemerintah mencoba untuk membunuh demokrasi.
“Saya sudah bandingkan antara apa yang dilakukan Pak Harto (Soeharto) yang oleh Ibu Megawati saat ini disebut sebagai neo Orde Baru. Kemudian saya bandingkan dengan Pemilu 2009, maka Pemilu 2024 itu merupakan perpaduan antara keduanya. Saya pertanggungjawabkan secara akademis karena saya banyak melakukan riset,” kata Hasto dikutip dari YouTube Liputan6, Senin (18/3/2024).
“Ini mengganggu proses pelembagaan partai. Ini menjadi hal-hal yang mereduksi dan menghilangkan prinsip-prinsip demokrasi. Buat apa rakyat memberikan suaranya ketika segalanya sudah dilakukan manipulasi dan diatur dari hulu ke hilir. Ini yang kemudian kita harus bersikap kritis,” lanjutnya.
Kritis menyuarakan apa yang saat ini terjadi membuat Hasto mengaku dirinya banyak mendapat tekanan. “Banyak info-info yang saya terima termasuk dari kalangan pers yang juga mendapatkan informasi itu.”
Ia lantas secara tegas meminta kepada penguasa saat ini untuk tidak menggunakan pajak sebagai alat politik, mengggunakan aparat dan juga sumber daya negara lainnya.
“Jangan direduksi sejarah TNI-Polri yang luar biasa bagi bangsa dan negara, bagi merah putih lalu hanya direduksi untuk mengabdi kepada keluarga. Itu terjadi di pemilu ini. Banyak bukti-bukti yang kami miliki,” ujarnya.
Hasto lantas membeberkan bukti penggunaan aparat TNI-Polri untuk kepentingan politik penguasa.
“Kepala daerah kami diintimidasi, Pak Koster (I Wayan Koster, Gubernur Bali), contohnya. Pak Koster coba diintimidasi, tapi tetap jalan kampanye untuk Ganjar-Mahfud, dicari kelemahannya lalu ada pola pengaduan masyarakat (dumas). Berdasarkan dumas yang direkayasa itu Pak Koster dipanggil Kapolda. Itu terjadi sekitar dua minggu sebelum pemilu,” kisahnya.
Kemudian ada walikota Semarang, bupati-bupati dari PDIP, hingga anggota DPR RI. “Di Nganjuk itu setiap anggota DPR yang turun memiliki basis massa diawasi tiga TNI dan tiga Polri, dan satu Bawaslu. Ini bentuk intimidasi, belum lagi kepala desa,” bebernya.
Bahkan, kata Hasto, ada yang lebih tegas mengatakan kalau masih ingin berkumpul dengan anggota keluarga harus memihak kepada 02. “Masih mau tidur sama istrinya gak? Kalau masih mau tidur dengan istrinya jangan bantu 03 atau 01, harus bantu 02,” pungkasnya. [ran]